Apologi Kamar Berantakan
Beberapa waktu lalu aku sering sekali bergumam pada diriku sendiri tentang beratnya bulan Agustus yang bermuara pada sebuah pertanyaan dan pernyataan akan bagaimana Agustus ini berakhir, sepertinya bukan Agustus yang berakhir melainkan aku yang berkahir.
Begitu banyak yang terjadi di Agustus lalu. Begitu banyak deretan tugas yang harus segera ku rampungkan. Liburan yang seharusnya menjadi hal yang dinanti diganti menjadi sebuah siksa yang candu. Kehidupan pagi siang malam penuh gairah, lelah, dan mata merah karena kurang tidur. Riuh kehidupan mahasiswa terasa begitu kental Agustus lalu.
Kehidupan yang tersita dengan segala kegiatan di fakultas orang, pusat peradaban mahasiswa (baca: UKM barat Unpad), student center, Kandaga, warung makan Gemass, Pondok Nirwana, Bento Kopi, dan segala macam warung malam tempat mahasiswa berbincang dan berdendang. Gelap yang cerah. Lelah yang nagih. Perasaan ingin berhenti memang selalu terus terulang tetapi kehidupan bersama 44 orang aneh nan menyebalkan ini mungkin tidak akan terulang.
Indekosku yang waktu itu terpaksa ditransformasi menjadi sebuah gudang, hanya berisikan baju kotor dan bukan menjadi tempatku berpulang tidur atau membersihkan diri. Tempat penyimpanan barang yang sedang tidak ku gunakan. Yang kadang ku rindukan mesti ku tinggalkan demi menempati indekos lain yang lebih dekat dengan tempat berkegiatan.
Tamatnya Agustus sempurna buatku. Agustus adalah musim dingin, aku alergi pada dingin namun salju adalah hal yang selalu aku tunggu. Terkait Agustus yang sudah terlewat dua bulan ini, ternyata sedihnya masih bisa dirasa. Sedih Agustus terlewat dengan penuh memori yang kini hanya bisa hidup di kenangan melebur bersama dengan angin serta daun. Sedih... kebiasaan di bulan Agustus yang kelamaan sudah mulai ku lupakan. Kebiasaan yang sudah mulai hilang dan kehilangan yang sudah mulai menjadi kebiasaan. Sampai jumpa kapan-kapan lagi Agustus. Agustus yang penuh ego, ambisi, dan berdarah. Yang terkenang. Yang aku sayang.
Comments
Post a Comment